Tari Kelindan Sumbay

Gue inget banget momen pertama kali ngeliat Tari Kelindan Sumbay. Waktu itu, gue lagi jalan-jalan ke Sumba Timur, salah satu tempat di Indonesia yang menurut gue underrated banget. Banyak orang mungkin cuma tahu Sumba karena kuda dan savana-nya, tapi budaya di sana—wah, gila sih, kaya banget. Salah satu highlight perjalanan gue? Nonton langsung pertunjukan Tari Kelindan Sumbay.

Gak bisa bohong, awalnya gue kira ini bakal kayak tarian tradisional pada umumnya. Tapi begitu musik mulai main, dan para penari mulai bergerak… gue langsung diem, fokus. Ada sesuatu yang beda.

Tari Kelindan Sumbay Berasal dari Mana, sih?

Tari Kelindan Sumbay ini berasal dari Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Buat yang belum terlalu familiar, Sumba itu punya ragam tradisi yang kental banget sama nilai-nilai leluhur. Banyak tarian di sana yang bukan sekadar pertunjukan, tapi bentuk penghormatan pada alam, leluhur, dan nilai-nilai sosial masyarakat mereka.

Nama “Kelindan Sumbay” sendiri punya arti filosofis. “Kelindan” artinya seperti saling terhubung, saling mengikat. Dan “Sumbay” bisa merujuk pada masyarakat Sumba itu sendiri. Jadi secara makna, tarian ini adalah tentang keterikatan—antara manusia, budaya, dan alam.

Waktu gue tanya ke salah satu sesepuh adat di sana, katanya tari ini sering dibawain di acara adat atau penyambutan tamu penting. Tapi sekarang, juga sering tampil di event budaya buat ngenalin warisan leluhur ke generasi muda. Respect banget sih.

Keindahan yang Nggak Bisa Dijelaskan Cuma Lewat Kamera

Keindahan Tari Kelindan Sumbay

Gue udah lihat banyak video culture Tari Kelindan Sumbay di YouTube, tapi jujur ya, beda banget rasanya nonton langsung. Ada aroma dupa yang samar, suara musik tradisional yang live, dan ekspresi wajah para penari yang bener-bener “ngena”.

Gerakannya harmonis, kadang lambat, kadang cepat, tapi tetap sinkron. Ada momen di mana para penari saling melingkar sambil mengikatkan kain—dan gue langsung mikir: ini bukan cuma tarian, ini komunikasi simbolik. Mereka kayak lagi cerita lewat gerakan.

Warna-warni kostum dan properti yang mereka bawa juga bikin mata gak bisa lepas. Gue sempat ngeliat beberapa turis bule di samping gue waktu itu—dan ekspresi mereka? Sama kayak gue: terpukau.

Kostum Tari Kelindan Sumbay: Simpel Tapi Penuh Makna

Salah satu hal yang paling mencolok dari tarian ini adalah kostumnya. Para penari cowok biasanya pakai ikat kepala kain tenun, tanpa baju, dan bawahan khas kain Sumba. Penari cewek tampil anggun dengan kain tenun Sumba juga, lengkap dengan perhiasan tradisional dari kerang dan logam.

Kain tenunnya tuh bukan sembarang kain. Tiap motif punya cerita sendiri. Ada motif tentang keberanian, tentang kehidupan, bahkan ada yang merepresentasikan roh nenek moyang. Salah satu penari sempat cerita ke gue kalau kain yang dia pakai adalah warisan dari neneknya. Bayangin, warisan budaya literally dibawa ke panggung!

Warna-warna yang dominan biasanya merah marun, coklat tanah, hitam, dan putih. Ada filosofi juga katanya—merah untuk keberanian, hitam untuk kekuatan spiritual, putih untuk kesucian. Detail kecil, tapi penting.

Keunikan Tari Kelindan Sumbay Dibandingkan Tarian Lain

Yang bikin gue suka banget sama tarian ini tuh: bukan sekadar goyang-goyang cantik. Tarian ini punya struktur. Ada alurnya. Gerakannya tuh kayak benang yang lagi dikelindan—muter, simpul, lalu lepas. Kadang pelan banget, kayak meditasi; kadang cepat dan intens, kayak pertempuran batin.

Ada momen penari saling menjalin kain, lalu melepasnya—itu simbol dari relasi sosial yang rumit tapi indah. Kayak hidup, kadang kita terikat, kadang kita harus melepaskan.

Yang gue pelajari dari sini: tarian itu bukan soal koreografi aja, tapi juga soal filosofi. Dan Tari Kelindan Sumbay itu salah satu contoh terbaiknya.

Reaksi Gue (dan Orang-Orang di Sekitar) Setelah Nonton

Jujur, setelah tarian selesai, gue tepuk tangan paling keras. Bukan karena formalitas, tapi karena terharu. Ada semacam rasa kagum sekaligus malu. Kagum karena tarian ini indah banget, tapi malu karena gue sendiri baru tahu soal ini sekarang.

Beberapa penonton lain juga pada ngobrol-ngobrol setelahnya. Ada yang bilang tarian ini bikin mereka mikir soal relasi manusia. Ada juga yang langsung buka HP dan googling soal Sumba—bagus lah, at least makin banyak yang penasaran.

Gue sempat ngobrol sama anak SMA dari Waingapu yang ikut nari. Katanya, mereka sering latihan seminggu sekali, bahkan pas musim ujian. “Soalnya ini warisan leluhur, Kak,” katanya. Damn, itu bikin gue makin respect sih.

Pelajaran yang Gue Ambil

penari penari cantik menarikan tari kelindan

Kalau boleh jujur, dari semua tarian tradisional yang pernah gue tonton, Tari Kelindan Sumbay termasuk yang paling ngena. Karena dia bukan cuma estetis, tapi juga penuh pesan.

Gue belajar bahwa:

  1. Budaya itu hidup karena dijaga dan ditampilkan.

  2. Anak muda punya peran penting dalam menjaga identitas lokal.

  3. Tarian bisa jadi media komunikasi sosial dan spiritual.

Dan yang paling penting: jangan remehkan tarian daerah. Karena di balik tiap gerakan, ada sejarah, ada doa, ada makna.

Tips Kalau Kamu Mau Nonton Langsung

Kalau lo tertarik buat nonton Tari Kelindan Sumbay langsung, gue saranin dateng pas event budaya di Sumba Timur. Bisa pas Festival Sandalwood, atau di acara adat lokal. Jangan lupa:

  • Bawa kamera tapi tetap hormati momen sakral

  • Tanya dan ngobrol sama warga lokal (mereka suka banget cerita)

  • Beli tenun asli dari pengrajin, jangan dari toko souvenir doang

  • Kasih waktu buat menikmati, jangan buru-buru

Simbolisme Gerakan dalam Tari Kelindan Sumbay

Satu hal yang bikin gue makin mikir setelah nonton Tari Kelindan Sumbay adalah—gerakannya tuh nggak asal gerak. Setiap langkah kaki, ayunan tangan, dan cara mereka saling mengikat atau melepas kain itu bener-bener penuh makna.

Misalnya, ada bagian di mana dua penari saling melilitkan kain tenun ke tubuh satu sama lain. Dari luar kelihatan artistik aja. Tapi waktu gue tanya ke salah satu koreografer lokal, ternyata itu simbol dari keterikatan antar manusia—bahwa kita gak bisa hidup sendiri. Kita saling terikat oleh nilai, tradisi, dan rasa hormat.

Ada juga gerakan melingkar yang dibarengi dengan hentakan kaki. Ini katanya menggambarkan siklus hidup manusia, dari lahir, dewasa, sampai akhirnya kembali ke tanah. Gue merinding waktu ngerti maknanya. Karena, ya, kita sering lupa bahwa seni itu bukan cuma buat ditonton, tapi juga direnungkan.

Jadi tarian ini tuh semacam meditasi gerak. Lo bisa lihat, rasakan, dan mikir—semua dalam satu waktu.

Peran Gender: Bukan Cuma “Cowok Kuat, Cewek Anggun”

Gue juga tertarik banget waktu ngelihat bagaimana peran gender ditampilkan dalam tariannya. Di banyak budaya, sering banget cowok diidentikkan dengan kekuatan dan cewek dengan kelembutan. Tapi di Tari Kelindan Sumbay, dua-duanya punya kekuatan masing-masing.

Cowok biasanya menampilkan gerakan yang lebih tegas, kayak menghentak atau memutar cepat. Tapi bukan berarti dominan. Mereka malah kayak pelindung ruang bagi penari perempuan yang tampil di tengah-tengah, membawa energi yang lebih tenang tapi tetap penuh makna.

Cewek di sisi lain, punya gerakan lebih halus, elegan, tapi bukan lemah. Mereka punya peran penting dalam menjaga ritme, dan sering jadi pusat formasi tarian.

Buat gue pribadi, ini jadi semacam refleksi tentang kesetaraan dalam budaya. Bahwa kekuatan bukan soal siapa yang paling keras suaranya, tapi siapa yang bisa menjaga harmoni. Dan itu ditampilkan dengan indah banget lewat tari ini.

Upaya Pelestarian Budaya: Dari Generasi ke Generasi

Ini bagian yang bikin gue sedikit sedih tapi juga optimis. Sedihnya, masih banyak orang Indonesia yang bahkan gak tahu kalau tari ini ada. Gue dulu juga gitu. Baru tahu setelah nyasar ke event budaya dan ngobrol-ngobrol sama anak-anak muda Sumba.

Tapi di sisi lain, gue juga jadi optimis. Karena anak muda di sana bener-bener peduli sama budaya mereka. Mereka latihan rutin, ikut lomba, bahkan bikin dokumentasi tari di YouTube. Salah satu komunitas yang gue temui, “Kelindan Muda Sumba”, aktif banget ngajarin tarian ini ke anak-anak sekolah dasar.

Gue juga nemu beberapa guru yang rela ngajarin tarian ini secara sukarela tiap minggu. Bahkan ada yang udah pensiun tapi masih aktif muterin kampung buat ngajak anak-anak latihan. That’s love, bro. Bukan karena dibayar, tapi karena cinta sama budaya.

Dan buat kita yang mungkin tinggal jauh dari sana, salah satu cara paling sederhana buat bantu pelestarian ya kayak gini: angkat ceritanya, kasih panggung, dan ajak orang lain kenal.

Baca juga artikel menarik lainnya tentang Benteng Belgica di Pulau Banda: Menelusuri Warisan Kolonial dan Perjuangan Lokal disini