Saya masih ingat banget pertama kali lihat burung Rangkong itu pas lagi trip ke Kalimantan Tengah. Waktu itu saya diajak teman untuk ikut kegiatan observasi burung di kawasan hutan hujan tropis, di daerah sekitar Taman Nasional Sebangau. Awalnya, saya nggak begitu ngerti soal burung. Tapi begitu si pemandu tunjuk satu burung besar yang terbang pelan-pelan dengan suara khas “whooosh whoosh” dari kepakan sayapnya—wah, saya langsung jatuh cinta.
Burung itu ternyata Rangkong Gading, salah satu spesies terbesar dari keluarga Bucerotidae. Paruhnya panjang dan melengkung, kayak helm. Di atas paruhnya ada struktur yang disebut kasuari (casque)—unik banget! Warnanya dominan hitam dengan ekor putih. Yang paling bikin saya terpesona sih, cara terbangnya. Agak lambat, tapi megah banget, kayak raja hutan yang tenang.
Dari situ saya mulai cari tahu soal burung ini. Ternyata Indonesia itu surganya Animals burung Rangkong. Ada 13 spesies Rangkong di Indonesia, dan sebagian besar hanya bisa ditemukan di hutan-hutan tropis yang masih lebat. Habitat aslinya ada di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, dan Papua. Mereka tinggal di pepohonan tinggi, karena memang hidupnya lebih banyak di kanopi hutan, bukan di permukaan tanah.
Waktu itu, saya baru tahu juga kalau burung ini penting banget buat ekosistem hutan. Mereka tuh kayak “petani hutan”—karena suka makan buah-buahan dan nyebarin bijinya ke mana-mana. Jadi secara nggak langsung, mereka bantu regenerasi hutan. Gokil ya?
Kenapa Burung Rangkong Harus Dilestarikan?
Setelah kunjungan ke hutan itu, saya mulai baca-baca soal konservasi burung Rangkong. Dan jujur aja, bikin miris. Banyak spesiesnya yang masuk daftar terancam punah di IUCN Red List. Contohnya, Rangkong Gading (Rhinoplax vigil) udah dikategorikan Kritis (Critically Endangered). Alasannya? Ya klasik—perburuan liar dan kerusakan habitat Wikipedia.
Yang bikin sedih, helm (casque) di atas paruh Rangkong Gading itu laku banget di pasar gelap. Mirip gading gajah, bisa dijadikan kerajinan ukir. Jadi mereka diburu bukan karena daging, tapi karena helm-nya. Kejam banget.
Padahal, burung Rangkong ini punya peran penting dalam rantai ekosistem. Mereka nyebarin biji tanaman langka. Kalau mereka hilang, bisa-bisa pohon-pohon besar yang jadi tempat tinggal hewan lain juga ikut punah. Kayak efek domino gitu.
Saya juga pernah ngobrol sama aktivis konservasi dari Lembaga Alam Tropika Indonesia (LATIN). Dia cerita gimana susahnya mereka bikin masyarakat lokal peduli. Tapi perlahan, mereka mulai sadar kalau kehadiran Rangkong itu bisa jadi daya tarik wisata alam, yang ujung-ujungnya bisa ngasih penghasilan tambahan.
Intinya, alasan utama kenapa burung ini harus dilestarikan itu:
Menjaga keseimbangan ekosistem hutan.
Melindungi keanekaragaman hayati Indonesia.
Meningkatkan potensi ekowisata.
Simbol budaya di beberapa daerah, seperti masyarakat Dayak yang menganggap Rangkong sebagai burung keramat.
Cerita Gagal dan Belajar Merawat Burung Rangkong
Oke, jadi ini bagian yang agak bikin malu tapi penting juga. Setelah makin jatuh cinta sama Rangkong, saya sempat adopsi burung Rangkong jenis Enggang Hitam yang disita dari perdagangan ilegal. Jadi dia bukan hasil tangkapan sendiri ya, tapi dari program rehabilitasi. Saya kerja sama dengan lembaga konservasi lokal.
Awalnya saya kira saya udah siap. Kandang besar, makanan disiapkan, vitamin, segalanya deh. Tapi ya… ternyata merawat Rangkong itu nggak segampang merawat burung kicau.
Masalah pertama? MAKANAN.
Rangkong bukan burung pemakan biji. Mereka lebih suka buah-buahan segar, terutama buah ara, pisang, pepaya, kadang juga serangga dan reptil kecil. Dan mereka tuh pemilih banget. Kalau buah nggak segar, bisa ditolak mentah-mentah.
Masalah kedua? SOSIALISASI.
Burung ini nggak suka kesepian, tapi juga nggak bisa langsung digabung dengan burung lain. Harus kenalan dulu, dikasih ruang, dan diperhatikan emosinya. Iya, mereka bisa stres kalau suasananya nggak nyaman. Saya pernah bikin kesalahan dengan mindahin kandangnya dekat kolam yang ramai anak-anak, dan burungnya mogok makan 2 hari. Panik dong!
Masalah ketiga? Kandang.
Rangkong itu terbang jarak pendek, tapi mereka butuh ruang yang luas untuk lompat-lompat dari satu tenggeran ke lainnya. Kalau kandangnya sempit, sayapnya bisa luka. Dan mereka suka gelantungan di dahan tinggi, jadi harus ada simulasi pohon.
Dari situ saya belajar banyak banget. Nggak cukup cuma niat baik, tapi harus benar-benar ngerti karakteristik alami burung ini. Untungnya setelah 4 bulan adaptasi, burung itu akhirnya dikembalikan ke pusat konservasi dan direhabilitasi ulang. Saya ikhlas, karena tahu dia akan lebih bahagia di habitat semi-liar daripada di halaman rumah saya.
Tips Praktis Merawat Burung Rangkong
Nah, buat kamu yang mungkin kepikiran untuk merawat Burung Rangkong—baik lewat program konservasi atau edukasi—ini beberapa tips penting dari pengalaman saya:
1. Jangan Ambil dari Alam Liar
Kalau benar-benar cinta, jangan beli dari pasar gelap. Banyak lembaga konservasi yang butuh bantuan untuk merawat burung sitaan. Itulah opsi yang etis dan legal.
2. Siapkan Kandang Besar dan Tinggi
Idealnya kandang setidaknya 2×3 meter dengan tinggi 3 meter. Harus ada tempat bertengger, dahan kayu, dan tempat sembunyi.
3. Pahami Pola Makan
Berikan buah segar setiap hari, variasikan antara pepaya, pisang, melon, dan mangga. Sesekali tambahkan jangkrik atau ulat hongkong untuk protein.
4. Rutin Cek Kesehatan
Burung Rangkong rentan terhadap gangguan pernapasan. Pastikan kandang punya ventilasi baik dan hindari udara terlalu lembab. Cek ke dokter hewan minimal 3 bulan sekali.
5. Latihan Sosialisasi
Jika dirawat lebih dari satu ekor, lakukan introduksi perlahan. Jangan langsung gabungin. Mereka punya hierarki dan bisa agresif jika merasa terancam.
6. Stimulasi Mental
Rangkong itu cerdas. Sediakan mainan, tempat persembunyian, atau buah-buahan yang diselipkan di tempat sulit. Ini bisa bantu kurangi stres.
Cinta Tak Harus Memiliki, Tapi Harus Melindungi
Sejak pengalaman itu, saya sadar satu hal: kadang cinta terhadap satwa itu nggak harus berarti memelihara, tapi cukup dengan melindungi mereka di alamnya. Burung Rangkong, dengan keanggunan dan fungsinya yang vital, lebih pantas terbang bebas di hutan-hutan Indonesia daripada hidup dalam sangkar.
Kalau kamu tertarik, ikut program birdwatching atau volunteer di konservasi burung itu jauh lebih berdampak. Bisa tetap dekat dengan Rangkong tanpa merusak habitatnya.
Sekarang, setiap kali saya denger suara “whooosh” di hutan, saya langsung ingat Enggang Hitam yang dulu sempat saya rawat. Semoga dia masih sehat dan terbang bebas di kanopi hutan Kalimantan sana.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Kucing Bulu Pendek Eksotis: Si Muka Datar yang Bikin Hati Meleleh disini