Gue masih inget banget, pertama kali nonton Tari Jathilan itu waktu masih SD. Di lapangan desa, ada pagelaran malam 1 Suro. Musiknya keras, kuda lumping warna-warni, terus ada adegan kerasukan segala. Buat anak kecil kayak gue waktu itu? Serem tapi seru!
Dan percaya nggak, dari situ gue jadi kepincut. Bukan cuma karena mistisnya, tapi karena ada sesuatu yang bikin merinding—campuran antara seni, budaya, dan semacam ‘energi’ yang sulit dijelaskan. Sejak itu, setiap ada pertunjukan Jathilan di sekitar kampung, gue pasti nonton.
Sekarang, sebagai guru culture yang udah 40-an tahun dan masih suka ngulik budaya, gue pengen banget cerita tentang pengalaman gue sama Jathilan. Bukan karena pengen gaya-gayaan, tapi karena menurut gue—Tari Jathilan itu warisan yang mesti dijaga.
Apa Itu Tari Jathilan dan Kenapa Beda dari yang Lain
Tari Jathilan (atau sering juga disebut Kuda Lumping) adalah pertunjukan tari rakyat yang biasanya melibatkan gerakan lincah, iringan musik gamelan yang kenceng, dan kadang ditambah atraksi ekstrim kayak makan beling atau kerasukan. Ya, kerasukan. Dan itu bukan gimmick kompas.
Tarian ini biasanya dimainkan dalam bentuk kelompok, dengan masing-masing penari menunggang kuda tiruan dari anyaman bambu. Gerakannya enerjik, penuh semangat, dan kadang diakhiri dengan trance atau ‘ndadi’—fase di mana penari terlihat seperti kehilangan kesadaran dan dikendalikan sesuatu.
Beda dari tari-tarian adat lain yang lembut dan anggun, Jathilan itu lebih liar. Lebih intens. Kadang terasa magis. Dan itu daya tarik utamanya.
Dari sisi sejarah, Jathilan punya akar kuat di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Konon katanya, tarian ini merupakan simbol semangat para prajurit Mataram. Tapi, seiring waktu, unsur spiritualnya makin menonjol.
Gue pribadi ngerasa Jathilan itu bukan cuma seni pertunjukan. Ini lebih ke bentuk ekspresi jiwa kolektif masyarakat desa. Ada semangat, ada perlawanan, ada pesan—semuanya dibungkus dalam gerakan dan musik.
Keindahan Tari Jathilan dari Dekat
Banyak yang mikir Tari Jathilan itu cuma aksi kerasukan. Padahal, kalau lo liat dari dekat, ada keindahan yang sering kelewat. Gue pertama kali nyadar ini waktu diminta jadi pendamping ekskul seni budaya di sekolah. Salah satu murid ngajakin nonton pertunjukan Jathilan versi anak muda.
Gerakannya ternyata nggak asal gerak. Ada pola. Ada irama. Bahkan ekspresi wajah penarinya pun dikontrol dengan latihan yang cukup ketat.
Warna-warni kostum, sorotan lampu panggung tradisional, suara kenong, kendang, dan gong yang membangun tensi—semua itu menyatu. Dan waktu transisi antara tarian biasa ke kerasukan itu… goosebumps. Beneran.
Tapi menurut gue, keindahan Tari Jathilan nggak cuma di panggung. Yang lebih indah itu momen di belakang layar: anak-anak muda yang latihan berbulan-bulan, ibu-ibu yang nyiapin kostum, bapak-bapak yang ngangkut gamelan. Semua gotong royong.
Itulah keindahan sebenarnya: bukan cuma visual, tapi energi kebersamaan yang bikin budaya ini tetap hidup.
Kenapa Tari Jathilan Wajib Dilestarikan
Jujur ya, gue agak miris waktu tahu beberapa orang nganggep Tari Jathilan itu kuno, kampungan, bahkan nggak relevan di zaman modern. Padahal, justru di era digital kayak sekarang, budaya kayak gini perlu banget dijaga.
Kenapa? Karena Jathilan itu:
Identitas lokal: Ini cara kita ngenalin diri sebagai orang Jawa ke dunia luar.
Pemersatu masyarakat: Di tengah perbedaan, pertunjukan Tari Jathilan bisa nyatuin warga. Mau lo tua-muda, kaya-miskin—semua kumpul di alun-alun.
Kaya filosofi: Ada nilai perjuangan, spiritualitas, dan kebersamaan.
Potensi wisata budaya: Banyak turis luar negeri yang penasaran sama budaya semacam ini.
Gue sendiri pernah bawa temen dari luar negeri nonton Tari Jathilan . Awalnya mereka shock, tapi setelah dijelasin, mereka justru makin kagum. Menurut mereka, budaya kayak gini itu “raw, real, and unforgettable”.
Kalau bukan kita yang jaga dan promosiin, siapa lagi?
Tips Mempelajari Tari Jathilan Buat Pemula
Nah, buat lo yang pengen belajar atau sekadar ngerti lebih dalam tentang Jathilan, berikut beberapa tips dari pengalaman pribadi (dan kegagalan juga, haha):
1. Mulai dari observasi
Jangan langsung ikut latihan. Tonton dulu beberapa pertunjukan. Rasain energinya. Perhatiin gerakannya.
2. Gabung komunitas lokal
Banyak kok sanggar atau komunitas Jathilan di desa-desa. Jangan malu gabung meski lo udah bukan anak-anak.
3. Belajar dasar gerakan
Ini penting. Jangan langsung loncat ke adegan kerasukan. Mulai dari gerakan dasar kuda, lalu masukin irama.
4. Pahami nilai dan ritualnya
Lo harus ngerti juga soal pemanggilan roh, sesaji, dan makna spiritual lainnya. Bukan buat percaya 100%, tapi biar tahu konteksnya.
5. Jaga kesehatan fisik dan mental
Karena tari ini enerjik banget. Dan kalau masuk ke sesi trance, lo perlu punya daya tahan dan kesiapan mental.
Gue dulu pernah ikut latihan intensif seminggu penuh, dan badan rasanya kayak abis ikut bootcamp. Tapi di sisi lain, rasanya puas banget.
Pengalaman Pribadi Ikut Jathilan: Antara Bangga dan Merinding
Gue masih inget satu momen yang paling nempel sampai sekarang.
Itu tahun 2011. Di desa sebelah, ada pertunjukan besar pas acara bersih desa. Karena sering nongkrong di sanggar, gue diminta jadi pengganti salah satu penari yang sakit. Awalnya ragu, tapi akhirnya gue iyain.
Latihan dua minggu, tiap sore. Gerakannya cepet, napas ngos-ngosan. Tapi makin hari, makin nagih. Ada rasa bangga yang susah dijelasin waktu bisa ngikutin pola tarian dengan benar.
Pas hari H, gue pake kostum lengkap, naik kuda lumping, dan pas bagian trance, entah kenapa badan gue beneran ngerasa kayak “dipegangin” sesuatu. Gue gak bisa cerita detil karena jujur, sebagian ingetannya agak kabur. Tapi kata orang, gue sempet makan daun sirih, nari muter-muter, dan teriak-teriak.
Setelah sadar, badan pegal semua. Tapi… puas.
Buat gue, itu bukan kerasukan kayak di film horor. Lebih kayak momen di mana jiwa lo lepas dari realita sehari-hari. Ada kebebasan. Ada kelegaan. Dan ada rasa: gue bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Kenapa Jathilan Layak Dikenal Dunia
Kalau lo tanya gue, apakah gue masih nari Jathilan sekarang? Jujur enggak. Lutut udah nggak sekuat dulu, haha. Tapi semangatnya masih sama. Gue masih sering nonton, ngajak anak-anak murid buat kenalan sama budaya ini, dan sesekali bantu acara pagelaran.
Karena gue percaya, Tari Jathilan itu bukan cuma tarian. Itu cerita. Tentang keberanian, kebersamaan, spiritualitas, dan akar budaya kita.
Dan selama masih ada yang mau belajar, nonton, dan nulis kayak gini—gue yakin, Jathilan nggak akan punah.
Baca juga artikel menarik lainnya tentang Rumah Lipat Kajang: Keunikan dan Alasan Pentingnya Dilestarikan disini